Pages

19 Feb 2009

Konflik karena Simbol

Adityas Agung Wicaksono/03293

Universita Atma Jaya Yogyakarta

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

2008/2009

Konflik karena Simbol

Konflik selalu tercipta akibat gagalnya komunikasi dan perbedaan persepsi, adanya perbedaan pendirian atau perasaan antara individu atau kelompok, adanya perbedaan kepribadian diantara individu/kelompok disebabkan faktor kebudayaan, perbedaan kepentingan diantara individu/kelompok, adanya perubahan sosial yang menyentuh pada tataran sistem nilai yang berlaku dimasyarakat. ( Prof. Selo Soemardjan dalam Syarifuddin Iskandar; 2006)

Komunikasi visual adalah suatu bentuk komunikasi secara visual. Dengan kata lain ditangkap oleh komunikan lewat indra pengelihatan atau mata. Contohnya bentuk, warna, lambang, komposisi, simbol, tanda dan lain-lain.

Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Contohnya, adanya asap menjadi tanda akan terjadinya sesuatu yang sedang terbakar. Tanda berbeda dengan symbol. Simbol adalah tanda yang mewakili tanda. Contohnya seseorang yang murah senyum bisa dipersepsikan orang yang ramah akan tetapi bila senyumannya pada setiap orang, setiap benda yang dilewatinya ato bahkan saat tidak ada siapapun dapat dipersepsikan sebagai orang yang gila. Tanda dan simbol menjadi sesuatu yang hamper sama tapi sebenarnya sangat berbeda. Karena, simbol memiliki arti yang lebih mendalam dan harus dipelajari atau dipahami tentang maknanya. Dengan kata lain simbol memiliki berbagai makna yang harus dimaknai lebih mendalam tentang apa dan mengapa-nya.



Simbol memiliki makna yang luas, tergantung dari setiap orang yang membaca atau melihat simbol tersebut. Contohnya saja simbol palu dan arit (sabit), hamper setiap orang yang melihat simbol ini langsung teringat dengan PKI dan bila diminta untuk bercerita ada kemungkinan (cukup besar) akan bercerita tentang G30/S PKI dan pembantaian dimasa itu. Dalam benak saya simbol sangat dipengaruhi oleh persepsi dan image yang dibangun atau tertanam dalam sebuah kelompok (masyarakat).

Kembali ke palu dan arit, partai komunis (pada masa itu) menggunakan simbol tersebut untuk menunjukkan bahwa partai ini mengunggulkan pertanian dan industry. Akan tetapi, pada masa pembantaian terbangun image partai yang tidak baik, salah, kejam, terror, dan lain sebagainya. Artinya, kelompok “komunis” menganggap atau memiliki persepsi tentang palu dan arit sebagai suatu simbol yang baik dan akan membawa penganut ideology komunis pada kesjahteraan. Sedangkan kelompok non-komunis atau mungkin untuk Indonesialebih tepat disebutkelompok anti komunis, menganggap simbol palu arit sebagai sesuatu yang mengancam dan harus dibinasakan. Adanya pebedaan persepsi ini membawa kedua kelompok diatas dalam sebuah konflik yang sangat besar.

Setiap simbol memiliki makna yang sangat berbeda atau bahkan sangat sama bila dipikirkan atau dipersepsikan oleh tiap kepala yang berbeda.

Selain karena persepsi, ada beberapa hal lagi yang membawa konflik karena simbol. Bukan bermaksud SARA, simbol umat Kristiani yaitu salib. Pada masa Yesus, salib adalah simbol sebuah penyiksaan, hukuman bagi kesalahan yang tak terampuni, akan tetapi mengapa salib kemudian menjadi sesuatu yang sakral dan dianggap bahkan diyakini (oleh yang meyakini) sebagai simbol keselamatan umat manusia? Mungkin saya sebagai umat Katholik, bias memuaskan hati dengan jawaban yang ampang ini, menjadi sebuah simbol keselamatan karena adanya sebuah jalan cerita yang terjadi antara sebelum Yesus ditangkap dan disalibkan hingga ketika kebangkitan Yesus. Dari jalan cerita itu manusia (penafsir kitab suci/alkitab) memiliki persepsi tentang salib dan memposisikan salib sebagai suatu hal yang sacral,suci, dan sebagai simbol keselamatan bagi manusia. Dari persepsi dan jalan cerita yang ada memunculkan sebuah image tentang salib. Bagi yang percaya akan Yesus, maka image yang terbangun adalah salib adalah sibol keselamatan bagi manusia. Tapi yang tidak percaya, akan mempercayai apa yang diyakini oleh dirinya sebagai hal yang baik.

Simbol menjadi sebuah cara berkomunikasi yang sangat baik bagi manusia dan cara berkomunikasi yang sangat berbahaya. Sangat baik karena, bagaimana mungkin manusia zaman sekarang mampu bertukar bahasa (memahami bahasa lain) bila tidak lewat simbol. Dari pertukaran simbol ini dapat terjadi sebuah kemajuan di berbagai bidang seperti teknologi, relasi, budaya, dan lain sebagainya. Menjadi suatu hal yang sangat berbahaya apabila pemahaman akan simbol yang diberikan oleh komunikator pada komunikan dihalangi oleh noise sehingga terjadi kegagalan komunikasi antara keduanya. Bisa jadi berbagai hal terjadi diluar prediksi kita. Bahkan terjadi konflik dan kemunduran diberbagai hal.

Selain persepsi yang membuat simbol mengalami perbedan makna. Simbol juga mengalami perkembangan makna mengikuti perkembangan jaman. Perkembangan zaman yang terjadi mempengaruhi implementasi simbol pada kehidupan manusia (yang mengimplementasikan simbol). Dalam implementasi ini terjadi sebuah transisi tentang makna simbol dan mungkin (biasanya) dalam masa transisi (transisi dalam hal apapun) pasti terjadi sebuah konflik. Contohnya pada masa transisi pemerintahan orde baru, terjadi reformasi.

Gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan rezim orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang berhasil mengubah wajah Indonesia bukan saja dari sisi politik, tapi semua sendi kehidupan masyarakat, baik sosial, ekonomi, maupun budaya. Banyak yang tidak menduga – mungkin para tokoh reformasi sendiri- kalau akhirnya Indonesia setalah huru-hara Mei 1998 berubah secara drastis. Transisi kehidupan politik dan sosial di Tanah Air masih berlangsung sampai sekarang. Transisi yang terjadi hingga saat ini sangat Nampak pada konflik yang terjadi akibat perbedaan persepsi tentang Negara yang demokrasi dan system Otonomi. Entah sampai kapan transisi ini berjalan.

Kembali lagi dalam pembicaraan tentang simbol, pancasila yang mengalami masa transisi dan berkembang mengikuti perkembangan mengikuti zaman-pun membawa Indonesia (bangsa yang mengikuti Pancasila sebagai ideologinya) kedalam konflik yang tak kunjung berakhir. Contohnya saja pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, pada zamannya Pak Soekarno dan Bung Hatta alias zaman perang. Sila pertama ini dipersepsikan sebagai setiap warga Negara Indonesia harus memiliki agama karena orang yang beragama diharapkan memiliki ahlak yang baik dan moral yang baik pula. Namun, dalam perkembangan zaman arti dari Ketuhanan Yang maha Esa menjadi setiap orang berhak untuk mengikuti aliran kepercayaan –bukan berarti tidak mungkin seseorang tidak memiliki agama- tapi tetap saja kalau agama harus ditulis di KTP (kartu tanda penduduk) jika tidak maka KTP tidak bisa dibuat. Akan tetapi, kepercayaan hingga saat ini masih saja dianggap sebagai aliran sesat bahkan seringkali dinggap sebagai aliran sesat.

Karena Indonesia adalah Negara yang sangat kompleks dan terbukti dari sejarah bahwa sebelum munculya agama Bangsa Indonesia telah memiliki aliran kepercayaan berupa Animisme dan Dinamisme, bahkan kepercayaan itu sekarang menjadi budaya (terutama di pulau Jawa). Kemunculan aliran kepercayaan baru sebagai perkembangan dari kepercayaan yang telah ada sebelumnya kini kadang sulit diterima sebagai kepercayaan yang bisa dianut. Sebuah konflik muncul karena kekolotan generasi lama terhadap pemikiran lama (jadul) dan fanatisme agama.

Ada sebuah pertayaan anekdote tentang simbol, “pernah makan S krim Walls?, S krim Campina? Kalau S Coret?” jika yang anda tanya menjawab pernah berarti dia adalah orang paling sakti didunia. Mengapa? Karena S coret berarti dilarang berhenti.

Sebuah analogi berbentuk anecdote diatas menjadi sebuah contoh tentang sebuah bentuk komunisasi visual “simbol S coret” menjadi makna yang berbeda ketika disampaikan tidak secara visual dan di dalam konteks yang berbeda, sehingga simbol “S coret” menjadi memiliki persepsi yang berbeda dari ketika simbol tersebut dibuat.

Simbol sebagai komunikasi visual memiliki makna yang sangat luas ketika simbol tersebuat dilihat oleh banyak orang yang berbeda. Persepsi dari simbol yang dilihat tersebut sangat tergantung oleh latar belakang, psikografi, konteks, situasi dan mungkin masih banyak lagi.

Indonesia adalah Negara yang sangat komplek dari segi budaya, social, semografi dan lain sebagainya. Salah satu konflik terjadi karena sebuah kepentingan dan pemaknaan dari interprestasi sebuah simbol yang dimaknai dan dipersepsikan oleh setiap orang yang memiliki kepentingan yang berbeda. Bisa juga dikatakan sebagai konflik yang acap kali terjadi di Indonesia karena perbedaan persepsi tentang sesuatu hal yang tergantung dari tiap individu yang memiliki latar belakang yang berbeda pula dan kepentingan serta pemaksaan pendapat akan persepsi sebuah simbol.

DAFTAR PUSTAKA :

Budiman, kris.2007.Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik.

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0312/08/nas03.html

http://encyblogedia.wordpress.com/2008/11/27/fucknatism-persepsi-tentang-simbol-dan-perbedaan-pemaknaannya/